Mie Ayam Judes
Bergerobak biru, jejeran botol di tepi gerobak, tulisan Mie Ayam berwarna putih, dan kentungan yang rutin dipukul beberapa waktu sekali guna memanggil pembeli, adalah ciri khas pedagang mie ayam keliling yang kerap saya temui di Jakarta, juga di beberapa tempat lain di negeri ini. Yang membikin saya takjub, meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda, belanja bahan-bahan di tempat yang berbeda, namun rasanya memiliki kemiripan. Sama-sama enak.
Lebih dari dua puluh tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku SMA, setiap minggu pagi atau ketika libur sekolah, saya memanfaatkan waktu bersama rekan-rekan di rumah untuk olahraga pagi. Lari-lari kecil, atau sekadar jalan-jalan keliling kampung mencari keringat sekaligus cuci mata.
Sekali waktu, kami memilih rute ke arah barat perkampungan kami. Ini berbeda dari biasanya saat kami memilih rute ke arah timur kampung hingga kurang dari tiga kilometer jalan kaki kami bisa tiba di Gelora Senayan (kini Gelora Bung Karno). Menjelang kantor kecamatan Kebon Jeruk, kami berbelok ke arah selatan, ke arah hutan kota Srengseng.
Tak jauh dari kantor kecamatan Kebon Jeruk, pada sebuah perumahan mewah dengan jalan-jalan yang sunyi dan selokan-selokan yang kering, kami melihat gerobak berwarna biru berhenti di tepi jalan tak jauh dari selokan kering. Beberapa kursi plastik berjejer di trotoar yang memisahkan jalan raya dan selokan. Beberapa pria asyik duduk di kursi, sementara seorang pria dan seorang wanita bahu-membahu membikin mie ayam pesanan para pelanggan yang menanti di kursi plastik.
Saat itu belum genap jam tujuh pagi. Kami semua keheranan kenapa ada pedagang mie ayam sepagi itu dengan pelanggan yang sudah siap menanti pesanannya datang. Kami semua masih belum bisa menerima jika mie ayam jadi menu sarapan. Bagi kami, nasi uduk semur jengkol, atau nasi kuning suwiran ayam dan irisan telur dadar, atau kue-kue semisal kue dongkal, gandasturi, pastel, dll lebih pas dan biasa dijadikan menu sarapan dibanding mie ayam.
Alih-alih lanjut jalan, kami semua penasaran, seperti apa rasanya mie ayam sebagai menu sarapan. Seingat saya ketika itu kami lima orang. Kami lantas memesan lima porsi mie ayam kepada satu-satunya perempuan yang ada di sana, yang membantu seorang laki-laki pembuat mie ayam, yang belakangan kami tahu mereka berdua sepasang suami-istri.
Sebagai yang termuda, saya yang diminta memesan. Sementara rekan-rekan saya lainnya sudah ambil tempat di kursi-kursi plastik yang disediakan.
"Mie ayam satu ya, Bu." Ujar saya. Alih-alih mendapat jawaban semisal 'iya', atau 'oke mas', atau 'siap laksanakan', atau jawaban-jawaban mengiyakan lainnya, perempuan itu hanya diam saja sembari memandangi saya.
Saya lantas mendatangi rekan-rekan saya lantas berujar, "Udah gue pesen lima porsi, tapi gue dicuekin. Coba elu yang pesen dah, Id." Id di sini adalah Said, salah seorang rekan saya yang ikut rombongan.
Said lantas mendatangi pedagang mie ayam untuk menegaskan pesanan kami. Tak disangka-sangka, Said malah kena damprat, dimarahi perempuan pedagang itu, "Iya sudah paham. Sabar. Tunggu."
Lima porsi mie ayam tak lama kemudian datang. Kami menyantapnya dengan lahap. Masing-masing kami berkomentar memuji rasa mie ayam yang baru kami santap. Ada yang memuji porsi yang jumbo, bumbu yang lezat, tulang lunak ayam yang gurih, intinya semua kami memuji mie ayam ini enak. Pakai banget.
Setelahnya hampir setiap minggu atau saat libur sekolah kami mendatangi pedagang mie ayam ini. Lama-lama kami paham bahwa mie ayam ini buka jam 6 pagi, sebelum jam 11 sudah habis. Kami juga akhirnya paham sepasang suami-istri pedagang mie ayam ini pelit bicara. Jika kami ingin membeli, cukup datang lantas duduk di kursi yang disediakan tanpa perlu memesan, seporsi mie ayam kemudian datang tak lama setelah kita duduk.
Kami juga kerap tertawa-tawa melihat pelanggan baru yang kena damprat sepasang suami-istri ini karena terlalu banyak bicara saat memesan mie ayam. "Mampus lu. Lu rasain tuh mie ayam judes!" Begitu salah seorang dari kami berujar. Saya lupa Said atau Zaki yang bilang begitu.
Karena mie ayam ini bergerobak tapi jualannya mangkal, tidak keliling, tidak ada brand semisal 'Mie Ayam Wonogiri', 'Mie Ayam Jakarta', 'Mie Ayam Bangka', dll, maka kami akhirnya memutuskan menamakan mie ayam ini dengan sebutan 'Mie Ayam Judes' karena tabiat sepasang suami-istri pedagangnya.
Meskipun begitu, saya berani mendaulat, hingga hari ini, Mie Ayam Judes ini sebagai mie ayam terenak di dunia.
Sabtu lalu, diantar Said, saya kembali menyantap mie ayam terenak di dunia ini. Beberapa waktu lalu, usaha sepasang suami istri ini hampir gulung tikar karena satpol PP melarang pedagang jualan di tepi jalan dan di atas trotoar. Salah seorang pemilik rumah dekat tempat mereka biasa jualan merelakan halamannya dipakai dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang untuk jualan mie ayam.
Per hari ini, seporsi mie ayam terenak di dunia ini dihargai Rp13 ribu. Jika dulu mereka jualan berdua saja, kini sudah ada dua orang perempuan tambahan yang membantu mereka jualan.
Setelah sekian lama tidak makan mie ayam judes ini, dan mencoba berbagai macam mie ayam di banyak tempat di negeri ini, saya masih harus mendapuk Mie Ayam Judes ini sebagai mie ayam terenak di dunia.
Di luar itu, sepasang suami istri pedagang mie ayam ini, masih tetap judes. Bahkan tambah judes. Sabtu lalu saat saya makan mie ayam judes ini, selain pembeli, dua orang pembantunya yang kini sering kena damprat keduanya. Habis diamuk dan dijudesin.